Sabtu, 27 Februari 2010

KBUI: Moral & Intelektual

Salah satu hal yang pernah menjadi bahan diskusi hangat di kalangan KBUI sendiri adalah mengenai orientasi perjuangan KBUI. KBUI sudah dengan tegas mengakui bahwa sekat-sekat antar kelompok adalah sebuah bentukan penguasa yang di satu sisi memitoskan mahasiswa sebagai agen perubahan, sementara di sisi lain memanjakan kelompok elit mahasiswa yang sebenarnya tidak memiliki kekuatan apa-apa ketika tidak didukung oleh rakyat kebanyakan yang namanya sering dibawaw-bawa kelompok mahasiswa ini. Untuk itu, KBUI sudah berhasil melepaskan sekat pembatasan yang ada dan dengan intensif bergerak bersama-sama dengan komponen rakyat yang lain. Pertanyaannnya kemudian, mau dibawa ke mana gerakan KBUI tersebut? Apakah hanya sekedar koboi pengawas penguasa, ataukah menjadi komponen penguasa itu sendiri?
Meskipun mau tidak mau KBUI harus bersentuhan dengan masalah politik, tapi politik yang dibawakan KBUI lebih kepada gerakan moral intelektual dan bukan politik kacangan untuk memperebutkan kekuasaan belaka. Dalam hal ini, KBUI tidak menyangkal adalah sebuah organisasi yang politis dan terus memantau kekuasaan, namun dalam pengertian yang lebih esensial, yaitu politik untuk menempatkan yang benar sebagai benar, yang menempatkan posisi rakyat sebagai sendi utama perhatian bagi pencapaian keadilan. KBUI tidak menolak untuk ikut dalam pengurusan negara, namun tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan utamanya.
Kerangka ini hanya bisa dilakukan dalam kaidah moral yang tepat tanpa terjebak ke dalam dogmatisme moralitas primordial yang tidak teruji kesahihannya dalam dunia yang multikultural dan sederajat ini. Kerangka itu juga hanya bisa dilakukan dalam kaidah intelektual yang benar tanpa terjebak ke dalam alienasi iintelektualitas yang cenderung berada di menara gading di atas angin yang tidak berempati terhadap derita rakyat di bawah sana.
KBUI dengan demikian adalah sebuah organisasi yang mendobrak masalah-masalah perjuangan dengan mengenalkan sebuah pemaknaan ulang akan makna gerakan mahasiswa. Secara historis KBUI memang berbasis kampus, namun secara historis pula, KBUI belajar untuk tidak memisahkan dirinya dari arus masalah sosial yang ada dan karenanya mengaku sebagai bagian dari komponen perjuangan rakyat tersebut.
Oleh karena itu KBUI juga menawarkan sebuah jalan perjuangan yang komprehensif, yaitu penegasan dirinya sebagai pejuang kerakyatan yang juga berbasiskan moralitas demokrasi yang benar, disertai intelektualitas kepemimpinan yang tepat pula.

Senin, 15 Februari 2010

PERJUANGAN BELUM SELESAI


Masih ingatkah kita siapa itu Muzzamil (FMIPA 96)? Ingat jugakah kita apa yang menjadi motto Yap Yun Hap (FT 96)? Tahukah apa yang sedang dikerjakan oleh Paulus Sabar dan Sony (FH 98)? Di manakah kini Juverdy (FISIP 97)? Lalu kemana saja Anday (FIB 95)?

Banyak kisah yang terserak di antara kita. Itu baru menyangkut rekan-rekan yang pernah mengalami suka duka bersama kita dalam sekelumit kenangan perjuangan KBUI. Belum lagi kalau kita memikirkan agenda yang lebih besar, jangka panjang dan serius, yaituu mewujudkan cita-cita perjuangan kita dahulu.

Dunia kampus kita kembali ke dalam masa kritis. Semenjak BHMN diterapkan, tidak banyak kemajuan yang diperlihatkan oleh UI selain tambahan fasilitas dan mahasiswa yang bertambah. Pada sisi lain BHP pun semakin mencekik orang kecil untuk menyediakan dana bagi anaknya agar bisa menikmati pendidikan tinggi.

UI pun kembali dalam situasi keberjarakan dengan masyarakat. Sistem keamanan yang serba ketat cenderung menyalahkan masyarakat atas berbagai persoalan di UI. Tidak ada survei yang benar-benar menunjukkan efektifitas sistem keamanan model baru ini, ketimbang hanya desas-desus dan data yang tidak bisa dibuktikan secara empirik. Apakah ini yang mau kita maksudkan sebagai Kampus Perjuangan Rakyat?

Bagaimana kalau kita bicara soal hukum? Masih berpengaruhkah teori-teori hukum yang susah payah dipejari di kampus yang katanya nomor satu di Indonesia ini? Nama UI saja sudah tidak didengar, apalagi kalau bicara teori yang mengatakan hitam adalah hitam dan putih adalah putih. Keadilan macam apa yang akan kita perjuangkan ketika dunia di luar sana penuh dengan tipu muslihat dan trik-trik kotor?

Bagaimana juga kalau kita bicara ekonomi? Ekonomi macam apa yang diajarkan di UI ini? Yang sepenuhnya menghamba kepada kapitalisme dan pasar bebas tanpa mempedulikan nasib rakyat kecil yang menatap dengan kosong masa depannya di tengah hamparan padang lumpur kemelaratan dan siksa kemilau hipermarket menjajakan barang menakjubkan yang tidak terjangkau oleh mereka?

Bagaimana dengan masalah teknik? Hohihuhaha, mengapa infastruktur di berbagai daerah kita justru semakin terabaikan? Kenapa "pendapat yang benar" yang selalu kita diskusikan dalam pertemuan kita selalu mental ketika harus diaplikasikan oleh pejabat-pejabat pemerintahan yang seharusnya menjadi hamba pelayan masyarakat? Apakah masyarakat hanya harus menggigit jari menyaksikan semua kemewahan hanya bisa dinikmati oleh menteri dan anggota DPR dengan mobil minimal sekelas Camry?

Bagaimana dengan kebudayaan? Apakah budaya kekerasan, korupsi dan opera sabun harus terus dipertahankan dalam sistem kemasyarakat kita? Untuk siapa kebudayaan itu menghamba? Kepada masyarakat kebanyakan atau mengikuti titah sabda pandita ratu demi kelanggengan kekuasaannya? Budaya yang membebaskan manusia sehingga bisa menemukan kemanusiaannya kembali?

Apapun yang kita, saya, anda pikirkan, Perjuangan BELUM Selesai.